Kamis, 14 April 2016

Review Film 45 Years – Masa Lalu yang Terlambat Disadari

Disadur dari sebuah cerpen berjudul In Another Country karangan David Constantine, 45 Years bercerita tentang pasang surut kehidupan rumah tangga Geoff (Tom Courtenay) dan Kate Mercer (Charlotte Rampling). Berawal ketika pasangan yang tengah menikmati masa-masa pensiun mereka dengan tenang di sebuah pedesaan, di wilayah timur Inggris tersebut, hendak mempersiapkan perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-45 tahun. Namun seminggu sebelum hari perayaan tersebut datang,  tiba-tiba sang suami dikirimi sepucuk surat yang isinya memberitahukan bahwa jenazah seorang wanita bernama Katya, telah ditemukan dalam bongkahan es yang mencair di pegunungan alpen, Swiss. Belakangan diketahui, ternyata Katya merupakan cinta pertama Geoff yang secara tragis terpeleset jatuh kedalam sebuah celah gletser yang sangat dalam, saat mendaki gunung bersamanya Lima puluh tahun silam. Surat itu pun lantas memercikan pergolakan batin yang membuat hubungan suami istri yang semula harmonis itu, menjadi renggang. Di satu sisi, Geoff yang sempat mengutarakan niat nya untuk pergi ke ke Swiss guna memastikan kebenaran informasi yang ia terima, mulai terbuai akan kenangannya dulu bersama katya yang masih tersisa dalam memorinya. Ia lalu membayangkan wajah Katya yang kini mungkin masih terlihat muda setelah lima dekade berlalu, karena terawetkan oleh es. Sementara kate yang mulai meragukan cinta Geoff terhadapnya, berusaha tetap fokus dalam merencanakan pesta pernikahannya, dengan mulai mereservasi gedung dan lain hal. Tetapi apa daya, keadaan semakin memburuk terlebih ketika suatu malam Geoff kedapatan sedang mencari foto Katya yang ia sembunyikan di loteng rumah. Hingga kemudian Kate, yang menaruh rasa curiga pada suaminya, menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Geoff dan masa lalunya.

Sebagian orang yang menyaksikan film ini, mungkin akan mengernyitkan dahi ketika tahu apa yang mereka tonton, hanya sebuah drama galau-galauan antar lansia dan diceritakan dengan pace yang sedemikian lambat pula. Tapi yang perlu digaris bawahi adalah bahwa 45 Years bukan lah film yang seremeh itu. Film ini lebih dari hanya sekedar tentang kecemburuan. 45 Years adalah sebuah portrait yang menggambarkan betapa pentingnya sebuah keterbukaan dalam menjalani suatu hubungan, apalagi kaitannya dengan masa lalu. Jangan sampai sesuatu yang terus ditutupi tersebut hanya menjadi bom waktu yang kapan saja dapat dengan seketika meruntuhkan dinding kepercayaan yang dibangun dalam sebuah hubungan, yang bahkan terjalin tidak dalam waktu yang singkat. Problematika itu lah yang sekiranya terjadi dalam kehidupan keluarga Mercer. Pernikahan yang dijalani lebih dari empat dekade lamanya, berada di ujung  tanduk, ketika sang suami rupanya masih memiliki hasrat terpendam terhadap wanita lain yang telah meninggal. Mengeksplor tingkatan emosi yang berlapis, melalui pendekatan yang sangat sederhana, sang sutradara Andrew Haigh tidak hanya membuat film ini menjadi begitu emosional, tapi sutradara yang sebelumnya dikenal lewat film bertemakan percintaan sesama jenis berjudul weekend ini, juga berusaha meramu sebuah struktur dramatis yang memiliki kedalaman natural pada sebuah konflik keluarga yang menyentuh sesuatu yang universal. Dengan menangkap ekspresi diri pada setiap karakter yang ditulisnya, se-realistis mungkin adanya. kehati-hatiannya dalam mengurai plot cerita, membuahkan hasil yang brilian. Salah satu contoh begitu rapi nya naskah yang ditulisnya, adalah saat Haigh menyelipkan sebuah twist yang dimunculkan dengan sangat halus, dimana twist tersebut mengiringi  45 Years berakhir dengan luar biasa memilukan dan meninggalkan kesan yang mendalam.
Sepanjang film, kita memang cuma akan menyaksikan Geoff dan Kate Marcer asyik mengobrol, dan sebagian besar itu dilakukan di rumah mereka. Meskipun demikian, dialog di film 45 Years sebenarnya tidak lah padat mengisi keseluruhan adegan yang ada. Pergerakan kameranya datar, dihiasi panoramic shot yang terekam ekskuisit dengan latar pedesaan Norfolk yang teduh. Film ini juga sepi akan latar musik. kalaupun ada, itu semua berasal dari alat musik yang dimainkan oleh karakternya atapun dari pemutar musik, yang tentunya dapat di dengar pula oleh para tokohnya. Saya sempat ragu diawal, bahwa semua unsur tersebut, hanya akan menjadi paduan yang membuat  45 Years terkesan sebagai cerita penghantar tidur semata. Untungnya hal ini terselamatkan oleh penampilan para aktornya yang maksimal. Charlotte Rampling dan Tom Courtenay yang intens terlibat dalam film ini mampu memaksimalkan ruang yang terbatas, hingga menghadirkan sebuah intimasi yang erat. Tidak hanya diatara keduanya saja, tapi juga dengan penontonnya. Dengan kata lain, penonton seolah-olah diposisikan berada di tengah-tengah kehidupan mereka. Duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, mendengarkan obrolan mereka sebelum tidur dan merasakan langsung atmosfer dari krisis pernikahan keluarga Mercer.
Meski kedua  aktor yang namanya telah malang melintang di belantika perfilman Inggris tersebut sama-sama memberikan akting terbaiknya baik Rampling maupun Courtenay, akan tetapi harus diakui, jika dibandingkan diantara keduanya, yang paling mencuri perhatian adalah penampilan dari Charlotte Rampling. Tak heran bila Rampling menonjol di film ini, selain ia memerankan tokoh sentral, karena alur cerita dituturkan melalui sudut pandang karakter yang dimainkannya, di usianya yang telah menginjak 70 tahun, aktris yang sempat beradu akting dengan Woody Allen di film Stardust Memories ini juga masih terlihat energik. Bahkan dari semua film-film nya yang telah saya tonton, 45 Years lah yang paling berkesan bagi saya. Secara kompulsif penampilan Charlotte Rampling yang prima, membangkitkan empati yang begitu besar terhadap karakter Kate Mercer. Sebut saja ketika Kate mencoba menenangkan diri dengan bermain piano klasik pada sebuah adegan long take di pertengahan film. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya melalui gesture tubuhnya saja kita dapat menangkap bagaimana rapuhnya hati kate saat itu. Secara keseluruhan 45 Years tak akan sama tanpa akting Charlotte Rampling. Kata demi kata yang keluar dari mulutnya, terlebih ekspresi yang ditunjukan dari raut wajahnya adalah kekuatan utama 45 years dalam menjaga intensitas emosi yang solid hingga film berakhir. Berkat Performa Rampling, cerita di film 45 years yang sederhana, sunyi, dan mengalir apa adanya, terasa menghantui tak ubahnya sebuah teror, yang melucuti nurani penonton dalam sebuah ketenangan periodik. Berkat aktingnya yang apik pula lah, untuk pertama kalinya ia berhasil dinominasikan sebagai pemeran utama wanita terbaik, dalam ajang Academy Awards ke-88 yang dihelat februari lalu.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.